Harga singkong yang terus merosot di Provinsi Lampung menjadi isu serius yang memengaruhi kehidupan ribuan petani. Kebijakan pemerintah menetapkan harga minimal Rp1.400 per kilogram dengan potongan rafaksi maksimal 15 persen adalah langkah yang patut diapresiasi. Namun, kebijakan ini belum mampu memberikan dampak nyata karena lemahnya implementasi dan pengawasan. Hingga kini, banyak petani melaporkan bahwa perusahaan pengolahan tapioka masih membeli singkong dengan harga di bawah ketetapan, yakni sekitar Rp1.070 per kilogram. Hal ini tentu merugikan petani yang sudah menghadapi biaya produksi sebesar Rp731 per kilogram.
Menurut Yongki Davidson, Presiden Mahasiswa Polinela 2020, fluktuasi harga singkong adalah bukti lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap petani. Ia menegaskan bahwa kebijakan harga harus dilaksanakan secara tegas dan diawasi dengan ketat agar benar-benar melindungi petani. Yongki juga menyoroti pentingnya diversifikasi produk dan peningkatan kualitas singkong untuk menciptakan nilai tambah. Pendekatan ini dinilai sebagai solusi jangka panjang yang dapat membantu petani bersaing di pasar domestik maupun internasional.
Selain masalah implementasi kebijakan harga, kebijakan impor tapioka turut memperburuk situasi. Pasar domestik yang dibanjiri produk impor mengurangi permintaan terhadap singkong lokal. Akibatnya, petani Lampung yang bergantung pada hasil panen singkong untuk penghidupan mereka harus menghadapi tantangan yang semakin berat. Kebijakan impor seperti ini perlu ditinjau ulang, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap perekonomian lokal dan kesejahteraan petani.
Demonstrasi yang dilakukan petani di Lampung pada Januari 2025 adalah bukti bahwa masalah ini sudah berada pada tahap krisis. Petani menuntut pemerintah daerah dan pusat untuk bertindak tegas terhadap perusahaan pengolahan tapioka yang belum mematuhi kesepakatan harga. Mereka juga mendesak Gubernur Lampung untuk menetapkan kebijakan resmi yang lebih mengikat agar harga minimal Rp1.400 per kilogram benar-benar terlaksana di lapangan.
Namun, solusi jangka panjang tidak cukup hanya mengandalkan kebijakan harga. Pemerintah perlu mendorong inovasi dalam sektor pertanian singkong. Teknologi modern dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil panen. Selain itu, pelatihan kepada petani tentang pengolahan singkong menjadi produk bernilai tambah, seperti tepung, keripik, atau produk olahan lainnya, dapat membuka peluang pasar baru. Dengan diversifikasi produk, petani tidak lagi hanya bergantung pada penjualan bahan mentah, melainkan juga memiliki sumber pendapatan tambahan dari produk olahan.
Pemerintah juga perlu membuka akses pasar yang lebih luas untuk singkong lokal. Kolaborasi dengan sektor swasta dan koperasi petani dapat menciptakan rantai distribusi yang lebih efisien. Di sisi lain, perlindungan terhadap petani harus menjadi prioritas utama. Pengawasan terhadap implementasi kebijakan harga, serta perlindungan terhadap praktik perdagangan yang merugikan petani, harus diperketat.
Sebagai salah satu komoditas unggulan, singkong memegang peranan penting dalam perekonomian Lampung. Tidak hanya menjadi sumber penghidupan bagi petani, singkong juga berkontribusi pada ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, stabilitas harga singkong tidak hanya menjadi isu lokal, tetapi juga menjadi perhatian nasional yang memerlukan pendekatan holistik.
Dengan sinergi yang kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, permasalahan harga singkong di Lampung dapat diatasi. Langkah konkret yang terkoordinasi akan membantu meningkatkan kesejahteraan petani, memperkuat ketahanan pangan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif. Pemerintah harus menyadari bahwa kesejahteraan petani adalah kunci keberlanjutan sektor pertanian dan stabilitas ekonomi daerah secara kesel
0 Komentar