Rumah Adat Mbaru Niang di Kampung Wae Rebo, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur Foto yukpegi.com |
Duka di Negeri 'Kasih' Nusa Tenggara Timur
Infokyai.com - Publik seakan tersentak tak kala salah satu anak negeri ini harus meregang nyawa di Negeri “orang”. Adalah dia Adelina Lisao, perempuan asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang diberitakan meninggal dunia di Rumah sakit Mertajam Malaysia pada Minggu (11/02) waktu setempat. Sehari sebelumnya, tepatnya 10 Februari 2018 Adelina ditemukan tergeletak di halaman teras majikan di wilayah Taman Kota Permai Bukit Mertajam Penang, Malaysia. Steven Sim Anggota Perlemen Bukit mertajam menjelaskan, pada saat ditemukan, Adelia terbaring di teras depan rumah dalam keadaan luka lebam di bagian wajah, kepala, tangan dan kaki tepat di sebelah anjing piaraan majikan. Diperkirakan korban telah satu bulan tergelatak di sana dalam keadaan tidak diberi makan dan Mal Nutrisi akibat pembiaran yang dilakukan majikan, sampai akhirnya adelina meninggal setelah sempat dirawat satu hari di Mertajam Hospital Malaysia. ditemukan beberapa luka yang disebabkan luka gigitan anjing piaraan majikan. Duka pilu anak negeri, begitu jelas dan terang melukai hati nurani, sebagai manusia yang bermartabat merasakan apa yang dirasakan sebagian besar masyarakat negeri Gemah ripah loh jinawi, yang harus rela melihat salah satu anak negeri tertatih mengais rezeki di Negeri Tetangga. Jelas ini pelanggaran HAM berat, ketika manusia begitu tega memperlakukan sesama manusia layaknya seperti hewan peliharaan. Apapun alasannya tentu tak selayaknya sebagai insan yang Tuhan titipkan kebaikan di dalam hati, begitu vulgar mempertotonkan kebiadaban, penelantaran, serta perlakuan yang tidak manusiawi kepada sesama manusia.
Baca Juga :
Diduga Oknum Ini Melakukan Pungli 'Memaksa' di Terbanggi Besar Lamteng, Dengan Modus Mengatasi Kemacetan https://goo.gl/qWC47S
Kecelakaan Dump Truk VS Truk di SPBU Natar https://goo.gl/VcZo9D
Beliau adalah “korban”
Sejak 2011 silam, Adelina Lisao pertama kali mengadu peruntungannya untuk bekerja di Negeri Jiran Malaysia. Pada saat itu usianya masih belum memenuhi persyaratan untuk bisa bekerja keluar negeri, kuat indikasi bahwasanya Adelia di berangkatkan ke Malaysia secara Unprosedural disertai Mal administrasi penempatan, tentunya dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang berperan aktif memalsukan identitas ybs. Di tahun yang sama, beliau sempat pulang kampung halaman untuk selanjutnya berangkat kembali ke Malaysia untuk bekerja kedua kalinya. Dari informasi yang penulis dapatkan dari berbagai sumber, adelina diberangkatkan oleh seorang Agen bernama Lim untuk selanjutnya diserahkan kepada Aida, dari Aidalah akhirnya Adelina dipekerjakan pada majikan berkewarganegaraan Malaysia bernama Jaya. Jelas ada sindikat di balik berpindahnya adelina dari tangan satu ke tangan yang lain. Sindikat Perdagangan Manusia yang merekrut Adelina sejak berada di kampung halaman, disertai pemalsuan dokumen hingga penempatan melalui jalur yang tidak resmi. Jelas pula ada prosedur yang dilangkahi dengan bermodalkan bujuk rayu dan janji manis oknum “sponsor” yang merekrut Adelina, tentu dengan memanfaatkan rendahnya pemahaman masyarakat terkait prosedur penempatan Pekerja Migran Indonesia ke Luar Negeri. Jelas ini menjadi tantangan bagi Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang Tahun lalu “Ketok Palu”, tentang seberapa jauh esensi UU bentukan legislatif ini bisa menjerat para pelaku sindikat perdagangan orang yang telah banyak memakan korban. Serta menjawab keseriusan pemerintah kedua negara Indonesia dan Malaysia menuntaskan Memorandum of Understanding (MOU) tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang telah berakhir sejak Mei 2016, Serta momentum yang tepat bagi kedua negara untuk menjalankan Asean Consensus on Protection and Promotion on Human Right of Workers yang ditandatangani 8 Kepala Negara pemerintah Asean di Malaysia tepat 1 Tahun yang lalu.
Pemerintah bergerak cepat
Pemerintah bergerak cepat merespon apa yang terjadi Pada Adelina, melalui Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dengan menunjuk Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Penang untuk mengawal kasus tersebut. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwasanya tidak ada hak-hak dari Adelia yang terkurangi, serta memastikan hak atas kompensasi atau yang dikenal dengan “Remedial Justice”.
Pemerintah Malaysia telah menyampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya kepada Pemerintah Indonesia atas apa yang terjadi pada Adelina Lisao, serta melalui Kepolisian Bukit Mertajam Telah menahan 3 orang yang merupakan majikan dan saudara laki-laki dari majikan Adelia.
Respon cepat ditunjukkan juga oleh Kepolisian Resort Timur Tengah Selatan Nusa Tenggara Timur yang telah berhasil menangkap 3 orang yang berstatus tersangka masing-masing berinisial perempuan berinisial FL (33), dan Laki-laki berinisial HP (37) yang keduanya merupakan warga Kupang, NTT. Kemudian pada minggu (18/02) kepolisian juga berhasil meringkus satu pelaku yang merekrut Adelina sejak di kampung Halaman.
Data bicara
Kematian Adelina Lisao menambah daftar panjang meninggalnya Pekerja Migran Asal Nusa Tenggara Timur (NTT), setidaknya itulah yang tercatat di Data Kepulangan Pekerja Migran Indonesia asal Nusa Tenggara Timur. Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kupang mencatat, sebanyak 62 orang Pekerja Migran Asal NTT Meninggal Dunia di Malaysia sepanjang Tahun 2017. Jika dipersentasikan jumlah tersebut adalah 45.2 Persen dari keseluruhan Pekerja Migran yang ada. Bahkan Adelina menjadi Pekerja Migran Kesembilan asal NTT di Tahun 2018 yang meninggal dunia di Malaysia.
Jelas, Adelina bukan satu-satunya, sebutlah nama saja Yufrida yang mengalami kasus serupa Adelina yang juga tewas karena dianiaya dan menjadi korban Perdagangan Manusia. masih banyak lagi kasus serupa yang menimpa Pekerja Migran Indonesia. Hanya sedikit dan berani melaporkan kekerasan yang dilakukan majikan, adalah Nirmala Bonat sedikit dari mereka yang nasibnya lebih beruntung setelah gugatan pada Perngadilan Tingkat banding dikabulkan oleh Hakim Pengadilan Putra Jaya Malaysia dan mewajibkan Majikan untuk memberikan kompensasi sebesar 349.496 Ringgit Malaysia atau sebesar 1,1 Milyar Rupiah rupiah. Namun tak bayak yang seberani dan se “nekad” Nirmala Bonat yang begitu gigih memperjuangkan hak-haknya sebagai pekerja terlebih lagi hak-haknya sebagai manusia.
“Sirih Pinang” sebagai Alat
Cendana dan Madu, dua komoditas inilah yang mengundang para penjajah menginjakkan kakinya di bumi Timur Indonesia, namun tak dapat dipungkiri sejak VOC Belanda bercokol menguasai nusantara, sudah dikenal sistem perbudakan pada zaman itu dimana, masyarakat kepulauan timur dipekerjakan sebagai pemetik pala dan dikirim ke Batavia, Palembang dan Banda. setidaknya itulah yang dicatat oleh Ormeling, geografer NTT asal Belanda.
Namun setelah sekian lama, sistem ini bermetamorfosis dengan sistem dan pola rekrut yang baru. “uang Sirih Pinang” jelas menjadi alat yang paling ampuh digunakan oknum-oknum perekrut pekerja asal Timur untuk mempermudah akses mendapatkan pekerja ilegal. Cukup dengan nmonal uang 2-3 Juta rupiah, sudah cukup meyakinkan pihak keluarga untuk rela menyerahkan anggota keluarganya untuk dibawa bekerja ke Luar Negeri, alasan “tidak enak hati” karena telah menerima uang tersebut, ditambah lagi sebagian besar oknum yang merekrut merupakan kerabat dekat menjadikan modus ini benar-benar ampuh untuk mengembalikan sejarah ke masa silam, dimana perbudakan menjadi komoditas baru setelah madu dan cendana. Stigma Pekerja yang “murah dan Taat”, faktor kemiskinan dan kurangnya pendidikan menjadikan NTT menjadi Propinsi dengan Korban Perdagangan manusia tertinggi di Indonesia. Bekerja ke luar negeri menjadi jalan satu-satunya untuk keluar dari kesulitan hidup, penulis berandai-andai “jika saja Negara ini mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang baik untuk anak negeri. Jelas “hujan emas di negeri sendiri jauh lebih baik dari hujan batu di negeri orang”.
Baca Juga :
Korban Ledakan Tangki Minyak Terpental Hingga Puluhan Meter https://goo.gl/hchSxo
Banjir di Candirejo Lampung Tengah, Akses Jalan Lamteng Menuju Lampura Terhenti Sejenak https://goo.gl/gdfAuQ
Maksimalkan fungsi Atase Ketenagakerjaan
Harus kita akui bahwasanya Pemerintah Negara Filipina memiliki keunggulan dalam mengelola sistem penempatan tenaga kerjanya, minimal sebulan sekali atase ketenagakerjaannya menyempatkan diri mengunjungi warga negaranya untuk sekedar menanyakan kabar atau melihat kondisi kesehatan warga negaranya yang bekerja di Negeri orang. Ini menjadi wujud “hadirnya negara dalam melindungi setiap warga negaranya, terlebih lagi warga negaranya yang bekerja di luar negeri yang tentunya rentan terjadi Friksi, Shock Culture, dan berbagai tekanan beban kerja, hadirnya negara melalui “alat-alat” negara menjadi cermin perhatian pemerintah kepada warga negaranya, hal ini hanya dapat dilakukan dengan memaksimalkan fungsi atase ketenagakerjaan, singkatnya tambah personel dan perkuat fungsinya. inilah saatnya kita menyamakan persepsi dalam memaknai, dalam keadaan apa pekerja dikategorikan sebagai pekerja Ilegal, dan dalam kategori bagaimana pekerja itu dikategorikan sebagai pekerja legal sebagaimana yang disyaratkan undang-undang. Apakah mereka yang diberangkatkan tanpa memenuhi persyaratan sesuai dengan aturan hukum negara pengirim kemudian dipekerjakan dan menurut hukum negara Penerima tidak terjadi pelanggaran, itu dapet dikategorikan Pekerja ilegal?? Setidaknya itulah yang akan menjadi pekerjaan rumah kedua negara, lagi-lagi tentang menyamakan satu persepsi, hukum antar tata hukum, hukum perburuan internasional dan tentunya ini semua harus jelas diatur secara detail dan komprehensif serta tekad kuat untuk sama-sama konsisten menegakannya, berharap Negara ini tidak terus menerus mengalami “dejavu”.
Ditulis oleh : Muhammad Meidi
Penjabat Fungsional Pengantar Kerja di Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
0 Komentar