Breaking News

Puasa Pertama Tanpa Ibu itu Rasanya...

Foto Ist
Puasa Pertama Tanpa Ibu itu Rasanya...

Infokyai.com - Tak pernah terbayangkan puasa tanpa ibu, dimana Ibu adalah seseorang yang sangat berperan penting dalam tumbuh kembang anaknya, mulai dari bayi, ibu mengurusi anaknya, hingga dewasa pun ibu tetap mengurusi anaknya. 

Dilansir dari idntimes.com , Saya tak pernah membayangkan puasa tanpa ibu, selamanya. Sejak kecil, saya terbiasa berpuasa dengan anggota keluarga lengkap. Ibu tak pernah absen memasak makanan kesukaan kami untuk buka dan sahur. Candaan kecil saat berbuka melengkapi kesempurnaan puasa kami. Tarawih pun berjamaah sekeluarga. Kadang di musola, kadang di rumah dipimpin ayah. Ketika saya duduk di bangku SMA hingga kuliah, saya mulai jarang berbuka puasa dengan keluarga. Waktu saya lebih banyak di luar rumah karena aktif di kegiatan sosial selama bulan Ramadan. Biasanya, saya berbuka di rumah hanya 1-2 kali dalam seminggu. Tapi, setidaknya saya masih bisa sahur bersama ibu, ayah, dan tiga adik saya. 

Tahun lalu menjadi puasa terakhir bersama ibu.
 Puasa Pertama Tanpa Ibu itu Rasanya...
Foto Ist
Untuk pertama kalinya, saya jauh dari keluarga ketika perusahaan saya bekerja menempatkan saya di Jakarta pada awal Mei 2014 lalu. Meski telah terbiasa puasa sendiri di luar rumah, kali ini tetap saja berbeda. Saya tak bisa lagi sahur bareng keluarga. Masakan ibu beserta keceriannya menjadi hal yang paling saya rindukan. Segalanya harus saya siapkan sendiri ketika puasa di perantauan. Meski begitu, saya biasanya pulang ke rumah saat pertengahan atau akhir Ramadan. Bagi orang perantauan seperti saya, waktu berkumpul keluarga, terutama bertemu ibu, menjadi momen paling berharga dan tak tergantikan.

Tahun lalu, saya nggak nyangka menjadi tahun terakhir berpuasa bersama ibu. Meski tak satu bulan penuh, sekitar enam hari terakhir saya merasakan kembali indahnya sahur dan buka bersama keluarga. Saya dan ibu berduet menyiapkan hidangan. Usai tarawih, kami banyak bercerita. Tentang pekerjaan, pertemanan, kehidupan saya di Jakarta, dan sebagainya. Begitu juga ibu yang bercerita apa saja yang terjadi selama saya absen di rumah. Candaan dan gurauan kerap terlontar. Sebetulnya, saya dan ibu memiliki kesamaan mutlak. Sama-sama jahil dan suka becanda. Di keluarga, saya memang lebih dekat dengan ibu. Seringkali kami bisa merasakan apa yang terjadi satu sama lain meski belum sempat memberi kabar.

Kepergiannya terasa begitu singkat.
 Puasa Pertama Tanpa Ibu itu Rasanya...
Foto Ist
Tak lebih dari dua bulan setelah Ramadan 2016, ibu saya merasa kembali ke masa "subur". Dia mengalami haid lagi setelah empat tahun menopause. Tetapi anehnya, "haid" tersebut terjadi secara terus menerus. Kadang selama tiga pekan berturut-turut, kadang satu bulan penuh. Saya pun memintanya untuk check up ke dokter. Namun, ia menolak karena tak merasa sakit. Pada pertengahan November, tubuhnya mulai drop. Akhir Desember 2016, ibu saya terdiagnosa kanker serviks ganas oleh salah satu rumah sakit di Surabaya. Ternyata ibu bukan mengalami haid, melainkan pendarahan sebagai gejala awal kanker serviks. Shock? Jelas, karena ibu tidak pernah sakit berat. 

Setelah mendapat kabar tersebut, ibu saya trauma dengan rumah sakit. Ia memilih jalan pengobatan alternatif. Namun, tak ada perkembangan. Sehingga, ku putuskan kembali ke Surabaya dan mengundurkan diri dari pekerjaan di Jakarta supaya bisa merayu ibu untuk pergi ke rumah sakit. Pendiriannya tetap kukuh. Hingga kondisi tubuhnya terus memburuk. Pekan kedua Maret, tak ada lagi pilihan selain membawanya ke rumah sakit. Saat itu, kanker ibu diketahui mencapai stadium 2B. Selang sepekan dirawat intensif di rumah sakit, stadiumnya kembali naik menjadi 3B dan menyerang ginjalnya. Tak lebih dari dua bulan, ia menjalani tiga kali opname. 

Janji seorang ibu.
 Puasa Pertama Tanpa Ibu itu Rasanya...
Instagram/rdewisuci
Opname ketiga, ibu kritis pada pertengahan April. Tak terbesit pikiran ibu akan meninggalkan kami karena saya masih memegang erat janjinya. Pada opname kedua, akhir Maret, ibu sempat berjanji akan terus berjuang melawan kankernya sampai sembuh. Ia tak ingin melihat tiga putrinya menikah tanpa seorang ibu. "Ibu masih ingin hidup, umur panjang, dan bisa nemenin kamu dan adik-adikmu menikah," katanya dengan semangat dan antusias. 

Setelah tiga hari kritis, dokter berpesan kepada adik-adik saya supaya keluarga bersabar dan ikhlas. Penyakitnya telah sembuh total, dan ia tak lagi merasa kesakitan luar biasa. Ya, ibu akhirnya memilih pergi dengan bahagia pada Selasa, 18 April 2017, sekitar pukul 10. 50 WIB. Yang saya sesalkan hingga sekarang, saya tidak berada di sampingnya ketika detik-detik terakhir. Pagi itu, saya sedang berada di kantor. Saya baru bekerja satu hari di kantor yang baru di Surabaya. Saya menyesal tak bisa menuntun ibu membaca kalimat syahadat untuk terakhir kalinya. Saat itu, saya berharap nafas ibu kembali muncul saat kain kafan mulai membungkusnya. Tetapi, kenyataan tetap kenyataan. Tak ada tanda-tanda ibu ingin kembali hingga papan penguburan dan tanah menutupi jenazahnya di liang lahat. Kami harus mengikhlaskannya. 

Saya harus menelan pil pahit ditinggal seorang ibu yang sudah jarang saya temui sejak merantau. Waktu saya begitu singkat untuk merasakan "full time" bersamanya setelah tiga tahun terpisah jarak hampir 700 kilometer, yakni hanya 1,5 bulan. Penyesalan menjadi pupuk paling subur bagi saya. "Kenapa saya tidak kembali ke Surabaya lebih cepat, kenapa saya tidak izin saja menemani ibu dalam kondisi kritisnya, kenapa saya justru bekerja di saat kondisinya terus memburuk." Dan sebagainya.

Berpuasa tanpanya membuat separuh jiwaku hilang.
 Puasa Pertama Tanpa Ibu itu Rasanya...
Foto idntimes.com
Tulisan ini tepat saya tulis pada 40 hari peninggalan ibu, tiga hari pasca ulang tahun saya, dan H-1 puasa Ramadan. Berulang tahun sendiri tanpa ibu rasanya menyakitkan, apalagi puasa Ramadan. Saat merantau, saya masih bisa merasakan hangat suaranya melalui telepon. Kini, segalanya hanya bisa dikenang. Sebagai anak pertama, saya didapuk menggantikan tugas ibu. Bagi saya, tak ada yang bisa menggantikan sosoknya, apalagi saya sendiri yang dipercaya menggantikan tugasnya. Saya tak bisa membayangkan berlebaran tanpanya. Apalah arti sebuah perayaan tanpa kehadiran ibu yang paling ku tunggu cerita-cerita uniknya, lembut belaian dan kecupannya, serta hasil tangannya yang serba ajaib.

Saya tak bisa lagi bermanja dengannya. Ibu yang sering ku ganggu saat makan dengan cara menyuapiku, menjadikan kaki atau pahanya sebagai alasku berbaring, hingga ku jadikan "guling" saat tidur. Hangat peluk dan ciumnya tak akan lagi bisa ku rasakan. Kini, kami hanya bisa memandanginya melalui foto yang ku letakkan di beberapa sudut kamar.

Mengais sisa-sisa kenangan.
 Puasa Pertama Tanpa Ibu itu Rasanya...
thepicta.com
Saya mencoba mengumpulkan secuil sisa kenangan darinya. Untungnya, handphone saya dilengkapi fitur merekam otomatis saat menelepon. Sebagian suara ibu masih ada di sana. Sebagian lainnya banyak terhapus. Seringkali saya mendengarkannya ketika sepi atau menjelang tidur. Setidaknya, saya merasa ibu selalu ada. Sekaligus menjadi penawar rindu yang terus menumpuk setiap detiknya.

Ibu, semoga kau selalu bahagia di alammu yang baru, seperti yang sering ku mimpikan. Semoga keceriaanmu tak pernah pudar meski kini kita berbeda ruang dan waktu. Datanglah sesekali Bu, bukan hanya lewat mimpiku. Menjadi putrimu, seorang ibu bernama Siti Nusrotin, merupakan keberuntungan yang harus ku syukuri sepanjang hidup. Terima kasih, Ibu...

Kalian yang masih punya orang tua lengkap, terutama ibu, harus lebih banyak bersyukur ya. Jangan sia-siakan waktumu bersama ibu. Sering-seringlah bermanja dengannya. Apalagi kalau kalian merantau. Jangan pernah absen menelponnya, walau hanya sekedar bertanya, "masak apa hari ini? Sedang nonton apa?" Jangan lupa pula mengucap kata rindu dan sayang kepadanya. Karena semua tak akan bisa kau lakukan lagi ketika alam menjadi perbedaan yang nyata. (*)

0 Komentar

© Copyright 2022 - Berita Lampung, Info lampung, Wisata Lampung, Loker Lampung, lowongan lampung, kuliner lampung